Site icon PONJONG

Perkembangan Duwit Kricik di Nusantara

ponjong.com; Gaess, kalian kesel enggak sih kalo punya temen yang mata duitan? Seolah-olah segala sesuatu itu hanya bisa dibandingkan, dinilai dengan uang.

Ternyata gaess, tahukah kalian bahwa ternyata sifat mata duitan ini merupakan sifat warisan sejak mojopahit? 😂

Beragam Koin dan Uang Kuno yang Pernah di Pakai Transaksi di Wilayah Indonesia

Karena uang kuno tertua di Indonesia adalah uang kuno yang berasal dari zaman kerajaan Majapahit. Berdasarkan informasi dari akun Instagram resmi Museum Bank Indonesia (MuBI), mata uang era Majapahit ini disebut uang Ma dan uang gobog.

Koin ini selalu menjadi incaran para kolektor uang kuno, sebab uang yang umumnya terbuat dari tembaga ini semakin sulit ditemukan, wajar jika harganya menjadi mahal. Untungnya, saya masih sempat nemu beberapa koin (agak) kuno di wilayah kita, sehingga bisa berbagi sejarah perkembangan mata uang, terutama koin yang pernah digunakan di Ponjong tempo dulu.

Koin-Koin Kuno Langka Milik Kolektor dari Ponjong Gunungkidul Indonesia

Paling kiri adalah koin Ma tembaga, konon Uang Ma ini diproduksi di India, dan digunakan untuk bertransaksi antara saudagar dari India dengan saudagar Majapahit di sekitar Abad 13 dan 14.

Kepeng atau Gobog Cina, diproduksi di Cina dengan tulisan cina sesuai dinasti pencetaknya dan menjadi alat transaksi Majapahit dengan saudagar atau Pedagang dari Cina. Sebelum akhirnya Majapahit mencetak Uang Gobognya sendiri dengan gambar yang berbeda. Gobog Majapahit ini juga disebut sebagai uang picis, biasanya bergambar motif seperti ular, burung, ayam, perahu, dan bendera.

Uang VOC, Koin Duit yang digunakan di Belanda, juga VOC sampai tahun 1854. Kata duit yang biasa kita pakai di Indonesia ini ternyata berasal dari satuan uang logam VOC yg disebut duit/deut, yang berasal dari kata bahasa Norse Kuno thveit yang artinya sejenis koin kecil, namun arti harfiahnya ialah “kepingan-kepingan”.

Sejarah Uang di Indonesia

Sementara itu menurut Ryūto Shimada dalam bukunya yang dimuat pada Brill, berjudul The Intra-Asian Trade in Japanese Copper by the Dutch East India Company During the Eighteenth Century, yang dipublikasi tahun 2006, menjelaskan seluk beluk tentang duit Belanda.

“Duit adalah koin tembaga Belanda senilai 2 Penning, atau 8 buah duit sama dengan satu kelip, serta 160 buah duit sama untuk satu gulden” tulisnya. Kata “duit” berasal dari kata “duit” atau “doit”, sebutan untuk uang koin kuno eropa yang dibuat pada abad ke-14.

Ryūto Shimada

Koin duit digunakan di Belanda sampai 1854. Secara etimologis, kata duit/deut berasal dari kata bahasa Norse Kuno thveit yang artinya sejenis koin kecil, namun arti harfiahnya ialah “kepingan-kepingan”. Mungkin secara sederhana, di Indonesia lebih dikenal dengan uang kencring atau koin recehan, karena nilainya yang kecil.

Mungkin secara sederhana, di Indonesia lebih dikenal dengan uang kencring, kricik, atau koin recehan, karena nilainya yang kecil. Untuk memenuhi kekurangan mata uang di wilayahnya yang berkembang, dari tahun 1726 hingga 1794, wilayah Nusantara yang saat itu dikuasai oleh VOC, memesan koin khusus dengan monogram yang diembos di atasnya, logo VOC dan lambang Belanda. Duit dicetak untuk diedarkan di Hindia Belanda, India, Ceylon, dan Malaka.

Uang Gulden / Benggol, Koin berbahan tembaga ini dicetak sejak 1856 – 1945 dan berlaku hingga tahun 1950an.

Selain berfungsi sebagai alat bayar, koin Benggol Hindia Belanda ini juga dijadikan sebagai alat untuk kerokan. Koin Benggol, khususnya pecahan 2 ½ cent Nederlandsch-Indie, dipakai untuk kerokan karena bentuknya yang besar dan tebal sehingga sangat nyaman. Bagian pinggirnya pun rata sehingga tidak sakit jika koin beradu dengan kulit. Istri saya pun kadang saya keroki pake uang Benggol ini, jika pas koin 100 rupiah yg tebel itu ketlingsut 😅

Koin Sen Indonesia, dicetak setelah kemerdekaan, sekira tahun 1950an, sampai tahun 1960an, kemudian diganti koin rupiah

Untuk koin yg selanjutnya para pembaca tentu sudah tau sejarahnya, karena nggak kuno² amat.

Anharoly Listiantoro Penggiat Budaya

Exit mobile version